Rabu, 16 Februari 2011

Di Dunia IT, Indonesia Belum Merdeka! Selasa, 21-08-2007 18:32:38 oleh: Norman Sasono Kanal: Opini


Apa yang akan kita lakukan jika ada konflik dan Amerika Serikat memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia? Yang akibatnya adalah Microsoft, IBM, Oracle, SUN, dan lain-lain tidak bisa beroperasi di Indonesia? Kemudian produk-produk mereka tidak bisa dijual di Indonesia? Apa yang anda lakukan jika produk-produk seperti Windows dan Office tidak lagi ada di Indonesia? Bagaimana kita bisa survive? Tampaknya, dalam bidang IT, Indonesia belum merdeka! Masih sangat bergantung pada perusahaan-perusahaan asing yang mayoritas dari Amerika Serikat.
Di bulan Agustus pastilah media dipenuhi berbagai hal seputar kemerdekaan. Mulai dari scope yang sempit tentang kemerdekaan Indonesia atas kolonialisme asing hingga membahas kemerdekaan di berbagai aspek kehidupan. Maka itu, saya mencoba membahas bagaimana di dunia IT sebenarnya Indonesia masih jauh dari merdeka.
Penjajahan jaman sekarang bukanlah secara fisik seperti dulu. Tapi melalui kultur dan ekonomi. Kita sekarang dijajah oleh perusahaan-perusahaan, produk-produk dan budaya asing. Coca Cola, McDonalds, Mickey Mouse, MTV, Britney Spears, Holywood, Nike hingga Windows dan Office yang saya sebut lebih awal tadi.
Di dunia IT, kita masih sebatas pengguna produk saja. Kalaupun membuat produk, tetap saja bergantung pada tool dan teknologi/platform dari vendor asing. Saya belum mendengar ada Operating System, Compiler, Database, dan semacamnya yang fundamental yang dibuat oleh anak bangsa ini. Mungkin ada, tapi tidak tertangkap radar saya. Apa karena memang kurang dipromosikan, atau memang merupakan produk yang inferior sehingga agak malu-malu untuk dipromosikan.
Bisa juga karena brain drain, otak-otak terbaik IT bangsa ini memilih mengabdi di perusahaan-perusahaan asing tersebut. Sebagai ilustrasi, ada orang Indonesia yang menjadi "Lead Software Design Engineer in Test" di team C++ compiler di Microsoft! Tapi tetap saja, jumlahnya sedikit. Selain jumlah orang yang menekuni bidang fundamental tadi sedikit dan bekerja untuk vendor asing, jumlah R&D di bidang fundamental tadi di Indonesia juga sangat sedikit. Kampus di Indonesia lebih banyak berkutat pada bidang Sistem Informasi semata, yang notabene adalah implementasi dari produk-produk vendor asing tersebut. Sebagian besar malah hanya sebatas implementasi Sistem Informasi di suatu perusahaan. Betapa menyedihkan.
Bandingkan dengan India dan Cina. Saat saya berkunjung ke kantor pusat Microsoft di Redmond, Washington, beberapa waktu lalu, orang India-nya hampir sama banyak-nya dengan orang bule-nya. Bahkan di level eksekutif sekalipun. Itu yang di Microsoft. Hal yang sama saya yakin terjadi di perusahaan-perusahaan IT besar lainnya. Selain itu, vendor-vendor besar tadi juga punya Development Center bahkan Research Center di India dan Cina.
Jadi, dari pemaparan diatas, jika ada apa-apa dengan Amerika Serikat, India dan Cina bisa survive secara IT. Mereka siap untuk tidak bergantung pada Amerika Serikat. Indonesia? Tidak! IT Indonesia akan colapse.
Di artikel lain, saya akan lanjutkan membahas apa yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di bidang IT.
Sambil menulis artikel ini, saya sedang mendengar lagu "Amerika" dari Rammstein, sebuah band metal dari Jerman yang juga concern bahwa Eropa (baca: Jerman) saat ini juga "terjajah". Berikut penggalan lirik-nya:
We're all living in Amerika
Amerika ist wunderbar
We're all living in Amerika
Amerika, Amerika

We're all living in Amerika
Coca-Cola, Wonderbra
We're all living in Amerika
Amerika, Amerika

We're all living in Amerika
Coca-Cola, sometimes war
We're all living in Amerika
Amerika, Amerika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar